Langsung ke konten utama

PINISI Budaya Dari ARA

PERAHU PINISI KARYA BUDAYA ARA DI ANTARA BANGKIT DAN DILUPAKAN
 Oleh.Drs.Muhannis

(Disampaikan Pada Diskusi Publik Mengenai Pinisi, Desa Ara Sabtu 25 Agustus 2012)

A.Pendahuluan
Drs.Muhannis

Menyebut pinisi,ingatan orang pasti mengarah kepada sebentuk karya cipta anak manusia Ara yang konon adalah nama sebuah kawasan tempat lahir dan berkumpulnya Panrita lopi yang keahliannya terkenal seantero dunia. Kampungnya menyembul di antara bukit kapur yang gersang dan pantai landai di salah satu sudut Bulukumba yang keberadaan karyanya sudah sangat mengkhawatirkan eksistensinya di muka bumi ini.Paling tidak bagi pemerhati-pemerhati kebudayaan yang menghargai dan mengetahui akan keadiluhungan karya cipta itu. Pinisi dengan segala identitasnya, begitu gagahnya berlayar diantara deretan perahu-perahu bangsa lain yang telah bersama-sama mengarungi samudra entah telah berapa tahun lamanya dan berapa tahun lagi sebelum punah.Tapi bagi sebagian orang,termasuk petinggi-petinggi bangsa ini,sepertinya menganggap bahwa kepunahannya bukanlah sesuatu yang perlu ditangisi, walau tentu tidak ada kemauan untuk memberangusnya diantara deretan karya cipta bangsa ini yang telah mulai dilupakan dan dipinggirkan.Jangankan memelihara pinisinya, monument dan gapuranya saja yang sederhana,semuanya tak terurus dan terkesan kusam,sesuram masa depannya. Lihatlah pinisi di tengah kota Bulukumba,di Tanaberu atapun di Ara sendiri, semuanya mengkhawatirkan kalau tidak mau disebut sedikit memalukan akan bentuk apresiasi seluruh stakeholder yang ada . Kita kadang baru tersentak dan mulai mengakui serta buru-buru membenahi sebuah karya budaya apabila akan diklaim bangsa lain.Pinisi ini adalah salah satu karya budaya yang memiliki potensi untuk diklaim bangsa lain berdasar sejarah terciptanya serta perjalanannya.
Memandangi pinisi dan mengagumi keindahannya berarti kita berada dalam ranah keilmuan,sebab pinisi lahir diantara seni dan ilmu.Dua hal yang selalu setia mendampingi karya ini sehingga menjadi monumental,paling tidak sampai saat ini. Dengan seni, tentunya kita puas menatap bentuk dan keanggunannya serta takjub akan proporsional layarnya. Dengan ilmu tentunya kita bertanya akan idea apa yang melatarbelakangi sehingga orang Ara bisa melahirkan pinisi anggun .Dengan demikian maka kalau idea dipertanyakan,maka paling tidak akan muncul dua hal penting berdasar teori kebudayaan yaitu Informasi dan formulasi. Informasi yang perlu diketahui tentunya menyangkut sejarah,perkembangan,keunggulannya dibanding perahu yang lain,makna bagian-bagian perahu dst.Kalau menyangkut formulasi,maka sisi ilmu yang dikehendaki adalah dari sisi ketahanan atau keamanannya,penjelasaan makna susunan balok,ukuran layar,makna detailnya sehingga mampu bertahan dan menjadi pendamping anak manusia ratusan tahun lamanya,menemani pendukungnya untuk berdagang,berperang ataupun sekedar pelesiran karena keamanan dan kenyamanannya yang telah teruji. Juga mengapa dinding dulu dibuat baru rangka yang kebalikan dari cara modern yang mengedepankan rangka. Tapi kalau kita mau bijak menatap pinisi ini, maka antara informasi dan formulasi, esensi sesungguhnya bahwa pinisi itu adalah karya budaya komunal yang lahir dan dilahirkan bersama sesuai tuntutan jaman dan kemudahan pembuatnya,kebutuhan pemodalnya (sambaluqna) ataupun keinginan yang melayarkannya.Ketiga komponen pelaku ini adalah sinergi unik yang telah melahirkan pinisi itu sendiri, minimal sampai bentuk dan model yang terakhir disaksikan. Dengan demikian, maka sasaran akhirnya adalah bahwa pinisi itu lahir,berkembang dan maju karena fungsional. Ironisnya adalah karena bisa saja fungsional justeru terbalik menjadi sebagai bumerang. Kalau hal ini terjadi, maka kepunahanlah akhirnya yang harus diterima,apabila tidak lagi fungsional, minimal diantara pendukungnya.Sebuah karya cipta yang tidak lagi fungsional maka tunggulah kepunahannya. Maka sebelum kita sampai ketaraf itu,maka kebijakan dan regulasi perlu dipikirkan bersama agar pinisi ini tidak hanya menjadi kenangan abadi.Paling tidak, pemerintah perlu mendukung penelusuran data,penerbitan buku ataupun titik kulminasinya adalah dengan menyiapkan museum walau itu adalah puncak ketakutan bersama akan punahnya sebuah karya leluhur yang terpaksa terpajang dalam etalase tanpa makna dibalik jeruji atau lemari kaca.Kasiaaaaaaaan dan mengerikan.
Seandainya ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah retorika dan kegamangan berlebihan semata,maka muncul pertanyaan,apakah masih ada pinisi detik ini yang berlayar minimal sama dengan apa yang disaksikan pada tahun 70an.Jawabannya tentu dengan sedih kita berucap,,good by pinisi, atau singkatnya tidak adami atau anreqmo bela kek.Yang ada saat ini adalah PLM atau Perahu Layar Motor, modifikasi pinisi yang demi sisi komersilnya maka dibentuklah perahu mirip pinisi.Tapi kita tentunya tetap berutang budi kepada para pemilik PLM komersil itu karena kepercayaannya menanamkan modalnya dan mencari keuntungan sekaligus kepuasan pada karya cipta leluhur orang Ara walau dominasi pikiran pemilik yang kebanyakan adalah orang asing lebih terasa.Paling tidak,dari pada punah,maka kenyataan pahitpun harus diterima dan melihat karya budaya pinisi dengan pakemnya yang ketat itu harus diobok-obok demi recehan dan lembaran Sudirman ataupun setumpuk dollar dan Euro diterima asal asap dapur keluarga tetap mengepul. Kadang pula umpatan dan gerutu sesekali terucap melihat pinisinya yang semakin canggih dilengkapi GPRS,pengukur kedalaman laut, ramalan cuaca,restoran lengkap dengan minuman kerasnya,tabung-tabung selam,toilet canggih,karaoke dll yang tak ada dalam kamus Demmaruling atau mantan-mantan punggawa terdahulu peletak dasar pakem pinisi.
B.Sejarah Perjalanan Pinisi.
Perjalanan sejarah orang Ara dalam melahirkan karya pinisi,tentu rasanya tidak adil kalau langsung pinisi yang dibicarakan mengingat tonggak-tonggak sejarah Ara telah tercatat dengan tinta emas pada buku-buku sejarah .Hal ini memungkinkan karena pinisi hanyalah bahagian kecil dari karya cipta manusia Ara yang masih ada di depan mata kita.Karya budaya Ara paling awal berdasarkan temuan arkeologi berupa artefak, memberikan data bahwa orang Ara telah melahirkan karya budaya 15.000 tahun lalu dengan ditemukannya serpihan Maros point di Gua Jobbolang oleh Prof.David Bulbeck dari Australian National University ( kebetulan penulis yang mengajak ke Ara bersama Balai Arkeologi Nasional dan mendampinginya atas izin Kepala Desa Ara).Sebelumnya juga telah ditemukan oleh peneliti Belanda pada jaman penjajahan dulu berupa perhiasan manik-manik kaca yang agak mirip dengan manik-manik kornelian Bantaeng di gua Passe yang ditaksir telah digunakan oleh leluhur orang Ara tahun 300-100 SM yang mengindikasikan bahwa orang Ara telah ada kontak dengan India Selatan dan Cina pada masa itu. Masih banyak karya budaya lain yang sesungguhnya dapat menjadi modal pengembangan pariwisata kalau pemerintah mau serius menggali sekaligus menjadikan karya budaya yang agung dalam menghiasi Bulukumba dan memperlihatkan keunggulannya dibanding daerah lain sebelum terlambat.Ambil contoh kekayaan gua-gua Ara yang belum tersentuh saja sudah banyak pengunjungnya,mata air dalam gua,keasrian hutan,kekayaan anggrek macan di Macaq,fosil-fosil kerang di tengah hutan.Tak kalah pentingnya juga adalah budaya penulisan lontara yang punya hubungan dengan Aceh seperti penulisan khutbah Ara yang diakhir do’anya justeru memintakan doa pula untuk raja-raja Aceh.Naskah-naskah ini sebagian sudah dimicrofilmkan oleh Balai Arsip Nasional,walau tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak yang belum tersentuh oleh Balai Arsip.
Perahu yanag dilihat oleh generasi kini,sesungguhnya adalah generasi perahu yang kesekian dalam rentang panjang waktu perjalannya. Dalam Lontara Lagaligo yang ceritanya diyakini sebagai cikal bakal munculnya perahu di Ara sesungguhnya sudah banyak yang punah.Pinisi yang kita banggakan justeru tidak pernah sekalipun tertulis dalam lontara I Lagaligo.Dengan demikian maka pastilah pinisi itu adalah karya Ara belakangan paling tidak bukan yang paling belakang. Dalam Lontara Galigo yang ditulis abad ketujuh atau sekitar tahun 800,perahu sering disebut wakkang , joncongeng,pelapangkuru,binanong,banawa,pangatiq yang semuanya terindikasi bercadik dll. Berdasar penuturan orang-orang tua Ara,sering menyebutkan bahwa sejarah perahu Ara berawal dari keikhlasan orang Ara dalam membantu rombongan Sawerigading yang terkena bencana di Tanjung Bira dan mengakibatkan perahunya hancur dan terdampar di pantai Ara.Atas kemurahan hati orang Ara,maka dikumpulkanlah bagian-bagian perahunya dan menyusun kembali sekaligus mempelajari tehnik pembuatannya, sehinga diberikanlah warisan tidak langsung oleh Sawerigading kepada orang Ara itu akan sebuah keahlian baru yakni membuat perahu.Perkembangan setelah melepas Sawerigading mencari jodohnya di Tanah Cina adalah dengan kemampuan orang Ara membuat perahu mulai perahu tanpa lunas seperti lepa-lepa,soppeq,jarangkaq yang nampaknya masih bercadik dengan layar jarangkaq seperti yang terlihat di dinding candi Borobudur yang dibangun tahun 800an sampai perahu berlunas seperti padewakang,pajala,patorani,lopi niandara,baqgoq,lambok,salompong,palari,pinisi dan terakhir PLM bahkan bentuk-bentuk kapal baru lengkap dengan mesin dan peralatan canggih telah dilakoni oleh panrita lopi Ara dengan daya tahan yang mengagumkan.
Memasuki abad XVII model perahu telah lebih rumit dengan difungsikannnya sebagai alat perang selain alat perdagangan yang menuntut fungsi perahu ke taraf yang lebih tinggi seperti muatan pasukan yang lebih banyak,kecepatan yang lebih laju dan kelincahan menelusuri sudut-sudut kekuasaan para raja.Zaman itu,semua dilakoni oleh panrita lopi Ara dengan penuh tanggungjawab,sehingga jejak-jejak kehadiran Gowa di Ara sangat terasa bahkan terdapat kuburan khusus bagi mereka disebut Pakkuburang Tu Gowayya. Dampak lain perperahuan ini adalah termasuk mempengaruhi perkembangan seni musik dan tarinya. Pemerintahannya juga didominasi oleh bangsawan-bangsawan Gowa seperti Karaeng Mamampang, Saloko Daeng Makatti alias Bakkateraq,Karaeng Bontobiraeng,Karaeng Tutinroa ri Mallansoro dll.Demikian pula dengan peralihan kekuasaan ke Bone pasca perjanjian Bungaya 1669, Arapun kena imbasnya yang akhirnya peran mereka lebih ditingkatkan.Penguasapun berganti ke tangan leluhur Bone seperti Puang Rangki,Puang Lompo. dll. Para raja Bone,rasanya tak puas bila tak menggunakan perahu buatan Ara dan Lemo-Lemo selain dari Mandar tentunya sebagai tumpangan dinasnya menjalankan roda pemerintahannya. Dalam catatan harian Raja-raja Bone,tertulis dengan jelas bahwa mereka sering memesan perahu dari Bulukumba seperti catatan La Temmassonge Towappaweling Matinroe ri Mallimongeng Raja Bone ke XXII selalu memesan perahu dari Bulukumba. Catatannya tercatat dalam buku hariannya bahwa pada tanggal 9 Juni 1753 atau 7 Syaban1166 Hijeriah berangkat ke Pattingaloang melihat perahu pesanannya dari Bulukumba seharga 40 real.Kalau mau dilihat bentuknya seharga itu, maka harga perahunya dapat dibandingkan dengan catatan beliau tanggal 25 Pebruari1755 atau 11 Jumadil Akhir 1168 dimana beliau memerintahkan membeli satu ajowa ( 2 ekor) kerbau seharga 16 real.Jadi harga perahu pesanannya itu kurang lebih seharga 5 ekor kerbau .Bentuk dan ukuran perahunya kira-kira bagaimana ukurannya berdasar pada harganya,tapi fakta lain mengatakan bahwa perahu raja-raja Bone dipakai berlayar melewati sungai Walanae masuk ke Danau Tempe kalau hendak ke Pare-Pare atau ke utara Sulawesi selalu melewati sungai. Keterangan ini menyiratkan data bahwa perahu pesanan mereka agak kecil saja karena bukan perahu perang.. Dalam legenda Ara dikatakan bahwa pesanan perahu besar Raja Bone terakhir adalah perahu perang Ellung Mangenre yang dikerjakan oleh Demmangali dkk. Jadi sesungguhnya kapan pinisi itu dibuat.Jawabannya, pinisi adalah puncak budaya Ara masa lalu yang menggabungkan antara kekokohan lambung dengan keindahan layarnya yang diadopsi sedemikian rupa dari bentuk-bentuk yang unggul waktu itu.Perlu diketahui sebagai renungan bersama adalah bahwa bentuk perahu yang mirip pinisi pertama kali dalam sejarah lahir sekitar tahun 1840an.Sebelum munculnya perahu mirip pinisi itu,yang ada adalah perahu dengan layar tanjaq seperti pada perahu padewakang yang dipakai berlayar hingga ke Australia mencari teripang.Karena kebutuhan yang mendesak, terjadilah persaingan dengan jenis perahu lain,maka pembuat perahu khususnya orang Ara dan Lemo-lemo dan Mandar, beralih menggunakan layar tanjaq dengan memodifikasi layar fore and aft asal Eropa awal 1800an.Bentuk paling mirip adalah dengan lahirnya perahu model baru di Trengganu Malaysia yang dibuat oleh Martin Perrot,seorang sawi kapal Eropa yang melarikan diri dari kapalnya dan menikahi gadis Trengganu.Raja Trengganu saat itu yakni Sultan Omar memesan perahu dari Martin berupa perahu paling canggih pada jamannya yang disebut sekunar.Bentuk inilah yang akhirnya ditiru oleh tukang perahu termasuk tukang dari Ara lewat persentuhannya di pelabuhan Singapura.Perahu model itu disebut Pinas atau penis dari bahasa Jerman dan Perancis yang diadopsi dari bahasa Belanda yakni kata die Pinasse yang maknanya perahu perang ukuran sedang karena yang besar disebut dengan galey atau orang Makassar menyebutnya galleq dari kata die Galeone. Apakah kata pinas ini yang berubah menjadi kata pinisi, tentunya dibutuhkan kajian lebih mendalam.Bagi penulis,pinisi muncul, juga karena kebutuhan perahu yang lebih awet dengan menambahkan tehnologi panisi atau lopi nipanisi yakni dengan menambahkan bahan pengawet pada papan luar lambung perahunya.
Dari data di atas muncul pertanyaan,apakah model pinasse sama dengan pinisi kebanggaan kita.Jawabnya adalah tidak,karena justeru pinisi lebih unggul dalam segala hal karena pada peralihan bentuk layar dari sombalaq tanjaq dan nade ke bentuk sekunar dengan layar model schoner ketch,lambung yang dipakai adalah model palari yang lincah, sementara pinasse sekunar tetap menggunakan kapal model Eropa dengan lambung Eropa yang mempuinyai keterbatasan. Bentuk pinasse adalah tetap berlayar tujuh dan kadang-kadang berjumlah delapan tetapi tiang agung pertama atau tiang haluan lebih tinggi dibanding tiang buritan dan disebut schoner ketch. Bentuk layarnya juga beda karena model pinasse itu menggunakan model layar fore and aft dengan andang-andang yang diatur naik turun sama dengan layar tanjaq,sedangkan pinisi model Ara menggunakan layar dengan andang-andang tetap yang ditempatkan di tengah dan ditarik seperti memasang gorden.Ciri utama pinisi Ara adalah layar 7 yakni pada cocoro terdapat 3 pasang yang disebut cocoro pantarang,cocoro tangnga dan tarengke,sombala bakka dua buah dan dua buah layar dipuncak yang disebut layar tampassere ( bandingkan dengan nama layar pada perahu sekunar yang disebut topser).Kejayaan pinisi dengan layar cantiknya nampaknya berakhir pada tahun 70an sampai awal 80an.yang punah lebih belakangan dibandingkan pendahulunya model sekunar yang justeru punah karena kehebatan pinisi model Ara yang menggabungkan lambung palari dengan layar sekunar yang dimodifikasi sesuai kebutuhan yang justeru lebih baik. Sebagai tambahan pengetahuan adalah bahwa selain pinisi ,sesungguhnya ada model lain yang hebat juga yang disebut lopi lambo dengan jenis layar nade yang juga meniru bentuk layar perahu cutter dan sloop dari Eropa dan Amerika. Bentuk nade inilah yang mengilhami orang Ara dan para sambaluq menciptakan model PLM dengan membuat layar lebih rendah karena kekuatan angin sudah tidak diperhitungkan lagi dalam pelayarannya, bahkan kadang- kadang bertiang agung tunggal saja demi efisiensi ruang atau mungkin untuk pengelabuan pajak.

C. Pinisi dan Hak Paten.

Yang disebut dengan hak paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atau hasil invensinya di bidang tehnologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Kata paten sendiri berasal dari bahasa Inggeris patent yang awalnya dari kata patere yang berarti membuka diri untuk pemeriksaan public.Kata ini diadopsi menjadi kata letters patent yang diberikan oleh kerajaan secara eksklusif kepada warganya atau inventor ( penemu) untuk mendorong penemuan dan kreasi warga Inggeris
Sekarang menjadi pertanyaan,apakah kita serius akan mematenkan karya ini yang merupakan kekayaan komunal Ara.Paling tidak kita akan bertanya,apanya yang akan dipatenkan,apakah lambungnya atau layarnya. Mengurusi paten yang berbelit-belit dengan biaya besar membutuhkan kemauan yang serius.Kenyataan yang ada di depan mata bahwa jangankan mengurus paten untuk kesejahteraan,mengurusi monument atau gapura saja susahnya setengah mati. Kita patut bersyukur bahwa pinisi sesungguhnya sudah dipatenkan oleh Bupati Bulukumba sebelumnya yakni Bapak Patabai Pabokori dengan nomer regirstrasi paten ID 0002914 yang karena kebutuhan Undang-undang maka atas nama pribadinya selaku Bupati pengusul waktu itu.Tapi apa dampak positifnya sampai kepada kita,jawabnya tanyalah pada rumput yang bergoyang alias tak ada sama sekali. Lebih fatal lagi karena nampaknya paten itu sudah tak mungkin diperpanjang lagi. Kalau pinisi dianggap sebagai tehnologi sederhana dimana patennya berlaku selama 10 tahun saja atau kalau pinisi itu digolongkan sebagai tehnologi tinggi ,maka hak patennya bisa berlaku dalam kurun waktu 20 tahun.Sekarang yang menjadi persoalan kita bersama adalah apa sesungguhnya yang dipatenkan oleh Bapak Patabai Pabokori itu,apakah model layarnya ataupun lambungnya ataukah termasuk perahu pinisi mininya,karena pengajuan paten hanya satu item saja.Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa pengajuan paten menganut system first to file yang bermakna bahwa pemegang paten adalah orang yang pertama kali mengajukan paten itu dengan memenuhi semua syarat yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang. Syaratnya pendaftaran diawali dengan mengisi formulir dengan materai,mencantumkan pencipta dan alamatnya,tanggal dan tempat diciptakan,bukti kewarganegaraan dll termasuk membayar biaya pendaftaran Rp.75.000. Kalau kita berkeinginan sekali untuk mendaftar lagi, maka siapa yang mecipta,kapan diciptakan, semuanya harus jelas dan ditulis dengan deskripsi yang lengkap. Tapi Alhamdulillah semua sudah diurus .Yang pasti bahwa tidak ada lagi individu yang berhak mengajukan paten sesuai dengan yang dipatenkan terdahulu karena Indonesia menganut first to file atau yang pertama mengajukan.Jadi dengan nomer register terdahulu,nampaknya pinisi aman dan ditunggu aksi berikutnya untuk menyelamatkan aset ini yang dengan bangganya telah menjadi lambang daerah kita dan identitas Sulawesi Selatan. Kalaupun ada yang ingin menggunakan pinisi itu untuk tujuan komersil dan membayar karena telah terdaftar patennya,maka toh akan lari juga ke Ara,karena pasti tukangnya berasal dari Ara, tidak lari kepada pribadi pemegang paten.

D. Pinisi dan Kesejahteraan Perajinnya.

Pinisi yang terlanjur menjadi kebanggan bersama ,idealnya harus berimbas kepada perajinnya.Saat ini ditengah regulasi yang makin tumpang tindih,dibutuhkan kerja keras untuk menatanya apabila kita mau melihat pinisi itu dapat juga disaksikan oleh generasi mendatang. Cara yang bagus adalah dengan melobi kantor terkait untuk membuat regulasi yang mempermudah pengangkutan material yang berhubungan dengan pembuatan pinisi.Walau hal ini nampaknya susah,tapi kalau memang pemerintah berkehendak atau memiliki kepedulian,maka nampaknya hal itu mudah.
Selain penataan regulasi,hal penting lain adalah menata lembaga dimana pemesanan perahu melalui satu lembaga saja kalau pemerintah mampu menata lembaga ini sebagai lembaga professional yang didukung dengan kompetensi perajinnya yang mumpuni.Selama ini, para tukang dan punggawa sendiri yang berjuang mencari pemesan dan kalau perlu memboyong anak dan isteri untuk tinggal dirantau orang demi kelangsungan dapur rumah tangga.
Yang tak kalah pentingnya juga adalah perajin souvenir pinisi mini yang selama ini nampaknya kalah bersaing dengan yang dikembangkan oleh perajin Mojokerto di Jawa Timur,dimana mereka sudah memasarkan karyanya secara on line. Perajin kita masih setia memajang karyanya di kolong atau depan rumah sambil menanti kemurahan orang untuk singgah, minimal mengagumi karyanya.Jadi sebaiknya pemerintah perlu memprogramkan untuk studi banding dengan memboyong pembuat souvenir untuk mempelajari finishingnya yang terkenal itu atau model kerjanya yang bisa dikerjakan secara massal tidak individual seperti perajin kita..
Dan yang terakhir adalah dipikirkan berdirinya sebuah museum yang dibangun ditengah-tengah pembuatnya dan akan menyimpan semua contoh jenis perahu yang pernah tercipta dari tangan orang-orang Ara. Selain itu perlu memajang perkakas-perkakas yang dulu sampai sekarang, jenis-jenis kayunya, jenis-jenis pasak,baruq,nama-nama papan dll.Semuanya pastilah akan menjadi daya tarik kunjungan para turis.Selama ini kita terlalu bangga dengan pantai kita yang dinggap sangat indah,padahal banyak pantai yang jauh lebih indah dengan penataan yang lebih menarik di tempat lain dengan fasilitas dan kebersihan yang lebih baik ketimbang kita.Pantai Bira yang memang indah,tercemar dengan sumpeknya kios-kios,pantai Mandala Ria yang tak punya akses jalan walau pantainya sangat bersejarah,pantai Samboang dengan jalan mulus tapi minim promosi dan fasilitas serta pendukung yang kurang dan lain-lain..Daya tarik wisatawan asing ke Bulukumba sesungguhnya adalah pinisinya,bukan pantainya.Namum pinisi dengan dukungan pantai dan budayanya adalah hal yang sangat bagus apalagi ditambah dengan adanya museum yang memajang segala pernak-pernik pinisi. Jadi museum adalah solusi terbaik bagi pemerintah,apabila memang memiliki niat baik untuk pelestarian ini. Tanpa itu berarti mengabaikan sebuah warisan yang tak ternilai dan berpotensi untuk diklaim bangsa lain seperti Malaysia yang memang memiliki sejarah perahu atau Batulicin sebagai sentra baru pembuatan pinisi yang saat ini memang menjadi sentra baru pembuatan pinisi yang juga dimotori oleh orang-oang Ara sejak tahun 70an.

E.Penutup
Akhirnya inilah tulisan ringkas yang sempat saya selesaikan walau jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan waktu dan kesibukan dinas. Namum demikian tetap diharapkan menjadi pencerah bagi kita semua dalam memandang pinisi itu sebagai sebuah warisan bersama yang harus tetap dilestarikan.Dan selamat kepada generasi muda Ara yang mau berbuat dan bekerja serta mau mengambil peran strategis ini sebagai pewaris syah karya budaya leluhur Ara. Dan masih banyak yang nanda semua bisa angkat,seperti musik dan tari,uapacara pattoengang, pencak silat,lagu-lagu rakyat dll. Semuanya menunggu sentuhan tangan dingin kalian. Selamat Berkreasi untuk adik-adik kalian dan semoga sukses. Amin

Ara,23 Agustus 2012
Penulis

Daftar Pustaka
Duden,2006.Die Deutsche Rechtschreibung,Mannheim:Dudenverlag.
Liebner, Horst,2001, Pelayaran ke Tompotikka Sebuah Episode Galigo. Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Barru tanggal 15-18 Maret 2001.
Mahmud,Muh.Irfan dkk Edit, ,2002,Tradisi,Jaringan Maritim,Sejarah Budaya, Makassar:Lembaga Penerbitan Unhas
Padindang,Andi Jamaluddin,2006,Catatan Harian La Temmassonge Toappaweling,Makassar:CV.La Macca
Pandu,Yuda,2006, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta:Indonesia Legal Center Publishing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pinisi Jadi Rumah Sakit Terapung

Kapal Pinisi Disulap Jadi Rumah Sakit Apung JAKARTA, KOMPAS.com - Demi menjangkau ke daerah terpencil, kapal Pinisi disulap Yayasan Dokter Peduli DoctorSHARE menjadi rumah sakit terapung. Kapal berukuran 23,5 x 6,55 meter ini siap membantu masyarakat memperoleh pengobatan yang aman dan bermutu. Kapal ini dilengkapi dengan fasilitas rumah sakit seperti ruang periksa, kamar bedah, kamar Rontgen, laboratorium, ruang rawat inap dan beberapa ruangan penunjang lainnya. "Ada delapan kasur untuk menampung pasien. Selain itu juga terdapat kamar untuk operasi besar. Jadi ini seperti rumah sakit pada umumnya," ujar Sekjen DoctorSHARE dr Luyanti, Kamis (14/3/2013), di Kemayoran, Jakarta Pusat. Ide RS apung ini, kata Luyanti, melihat tidak meratanya layanan kesehatan yang aman bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil. "Kami melihat masih banyak masyarakat yang masih sangat sulit untuk mendapatkan kesehatan, khususnya bagi masyarakat yang berada di pulau terpencil. Itu yang men

Cerita Legenda Pinisi

LEGENDA PINISI karya Panrita Lopi ARA Kapal Pinisi adalah kapal buatan suku Bugis dan suku Makassar, juga menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Sentra penbuatan kapal ini lebih banyak berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dengan beberapa rentetan ritual sepanjang pembuatan dan peluncurannya. Segala hal tentang Pinisi, lebih lanjut seperti berikut ini. 1. Berasal dari Pecahan Kapal Yups, meski megah bak raksasa, kapal Pinisi lahir dari puing-puing kapal yang pecah dihantam ombak. Kisah ini berawal di sekitar abad ke-14, saat putra mahkota Kerajaan Luwu, Sawerigading, berlayar ke negeri China untuk meminang seorang wanita bernama We Cudai. Niat sang Putra Mahkota memang terwujud, tapi nahas saat pelayaran kembali ke kerajaan Luwu, kapal yang ditumpangi pangeran terhadang ombak dan terbelah menjadi tiga. Puing-puing kapal Sawerigading ini kemudian terdampar di tiga tempat berbeda, yaitu di desa Ara, Lemo-Lemo, dan Tanjung Bira. Oleh masyarakat dari ketiga desa ini, pui