Bagaimana menurut anda ???
Nasib pengusaha atau pengrajin kapal Phinisi di Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) tidak menentu. Penyebabnya, karena keleluasaan Warga Negara Asing (WNA mengelola kapal yang menjadi ciri khas Kabupaten Bulukumba ini. Jika terus menerus terjadi bisa jadi kapal perahu Phinisi diambilalih oleh pengusaha asing.
Nasib memang nasib. Sudah tidak mampu lagi bersaing dengan dengan kekuatan asing. Buntutnya usaha yang ditekuni dari nenek moyang pun nyaris punah. Seperti itulah dialami, H Kardi, salah seorang pengusaha kapal asal Bontobahari. Duduk di atas kapalnya, pembuat kapal phinisi ini, tidak pernah berhenti bertanya-tanya bagaimana masa depan profesi yang telah digelutinya turun temurun itu.
Dalam benaknya dirinya bertanya-tanya apakah perahu phinisi tetap menjadi andalan warga Bulukumba ataukah dikelola pengusaha asing. Ingin mengusir asing, namun tidak memiliki kekuatan. Sebab, mereka mendapat persetujuan dari pemerintah daerah. Keberadaan WNA di Bulukumba yang mempekerjakan pengrajin lokal dalam proses pembuatan Perahu Phinisi seakan-akan memberi sinyal bahwa kapal yang dijadikan nenek moyang orang Bugis merantau ini bakal tinggal kenangan.
Sejumlah WNA sudah bertahun-tahun menguasai pembuatan Kapal Phinisi di Bontobahari dengan melibatkan pengrajin lokal dengan iming-iming gaji besar dibanding yang diberikan pengusaha/pengrajin kapal lokal yang terbilang sedikit. Itu penyebab utamanya. “Bukan hanya itu, sejak keberadaan WNA di Bulukumba, pemesan kapal dari negara luar tak lagi melirik pengrajin lokal setempat,” sedihnya.
Padahal sebelumnya, pengusaha lokal sering mendapatkan orderan atau pesanan kapal dari Bule WNA di sejumlah negara tertentu dengan keuntungan yang sangat menggiurkan. Kalau masalah harga setiap Kapal Phinisi dijual tergantung dari ukuran atau tipenya. Biasanya satu buah kapal dijual seharga Rp1 miliar hingga Rp60 miliar/kapal. Untuk itu, sejumlah pengusaha/pengrajin Perahu Phinisi asal Bontobahari meminta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dalam hal ini Bupati Bulukumba, Kapolres Bulukumba serta pihak Imigrasi segera melakukan razia di beberapa lokasi pembuatan kapal yang dikuasai WNA.
Sambil menatap kapalnya miliknya, H Kardi mengaku, sejak keberadaan WNA di Bontobahari, dari hari ke hari jumlah pengusaha kapal lokal di Bontobahari terus berkurang. Miris memang mendengarkannya. Apa daya dirinya tak mampu berbuat banyak karena tidak ada regulasi dari pemda terkait batasan asing. “Bahkan, bukan cuma kapal kayu saja yang mereka kerja, namun mereka juga kerja kapal fiber, bahkan segala sesuatu kelengkapan instalasi di kapal baik itu listrik dan sebagainya sudah dikerjakan WNA tersebut,” sedihnya sesekali bernafas panjang.
Orang tua yang sudah berpuluh-puluh tahun mengerjakan kapal ciri khas Kabupaten Bulukumba ini menjelaskan, kalau dibiarkan terus menerus, maka yakin saja perlahan lokasi tersingkir. “Kami pasti gulung tikar alias bangkrut,” H Kardi meyakinkan. Lanjut dia, hingga saat ini, orderan kapal yang dikerjakan pengusaha lokal sangat sepi. Sebaliknya yang dikerja oleh WNA lumayan banyak dan tidak pernah berhenti kerja dari waktu ke waktu sejak kurung waktu lima tahunan terakhir.
“Untuk itu, kami atas nama pengusaha/pengrajin kapal Bontobahari meminta kepada Pemkab, Polres Bulukumba dan pihak Imigrasi agar segera merazia, menindak tegas dan memeriksa seluruh Visa WNA yang ada di Bulukumba khususnya WNA yang ada di Bontobahari,” ujarnya. Dia mengaku sangat menyayangkan dan prihatin dengan kearifan lokal asli ikon Phinisi Bulukumba berjuluk “Panrita Lopi Bulukumba” kini seakan hilang, karena notabenenya dikuasai negara luar (WNA).
Bukankah Perahu Phinisi Bulukumba seharusnya dijaga dan dilestarikan, kenapa malah dikuasai negara lain. “WNA tujuannya ke Bulukumba hanya berwisata kan, bukan untuk bekerja di Bulukumba. WNA yang mempekerjakan tenaga lokal, berarti sama saja merugikan kami,” akunya. Pengusaha kapal di Bontobahari juga mendesak pemerintah dan aparat hukum agar turun tangan dan segera mendeportasi WNA yang terlibat dalam pembuatan kapal di wilayah itu. “Ini asli budaya kearifan lokal kita sebagai orang Bulukumba (Panrita Lopi).
WNA tidak berhak mempekerjakan tenaga lokal, mereka hanya boleh membeli kapal Phinisi,” pungkasnya. Dia menambahkan, saat ini 90 persen pengusaha kapal lokal di Bontobahari kehilangan mata pencaharian sebagai pembuat/ pengrajin kapal. Kini nasibnya ada yang nganggur hingga menunggu pesanan, bahkan ada beralih kepekerjaan atau usaha lain. “Di Bontobahari ada dua lokasi tempat pembuatan kapal Phinisi yang dikuasai WNA, yakni, di sepanjang galangan kapal Bontobahari dan Panrang Luhu Desa Bira Kecamatan Bontobahari,” sedih H Kardi.
Komentar
Posting Komentar